Pengalaman Buruk dengan Polisi: Jalankan Tugas Jurnalistik Berujung Penahanan, Kisah Kelam 90 Hari di Balik Jeruji

TNC GROUP SITE.WEB.ID | Jakarta – Di balik tugas seorang jurnalis untuk menyampaikan kebenaran kepada publik, tersimpan kisah pilu yang menimpa diri saya. Pada 23 Mei 2025, saya menerbitkan sebuah laporan mengenai dugaan aktivitas ilegal distribusi BBM oleh oknum anggota militer di wilayah Blora di media online PortalIndonesiaNews.net.


Alih-alih mendapat ruang klarifikasi sebagaimana mestinya, langkah jurnalistik itu justru berujung pada penahanan saya selama 90 hari. Masa tahanan penuh tekanan, fitnah, dan dugaan jebakan itu meninggalkan luka batin mendalam bagi saya dan dua rekan lainnya.


*Berawal dari Niat Menjalankan Tugas*


Sebelum berita tersebut tayang, saya telah menempuh prosedur sesuai kode etik jurnalistik. Saya melakukan konfirmasi kepada sejumlah pihak, termasuk seorang penjaga gudang bernama Didik.


Dalam percakapan, Didik menyebut bahwa gudang tersebut dimiliki oleh seseorang bernama Riko, yang disebut-sebut sebagai anggota TNI. Upaya konfirmasi kepada Riko tetap dilakukan, namun tidak pernah mendapat respons. Di sela-sela percakapan, Didik bahkan berulang kali menawarkan uang kepada tim jurnalis agar berita tidak ditayangkan.


Semua sudah saya tempuh sesuai kode etik. Saya konfirmasi dulu, saya tunggu jawaban, tapi tidak ada tanggapan. Dengan keyakinan bahwa prosedur telah dijalankan, berita itu akhirnya dipublikasikan pada 23 Mei 2025.


*Rayuan Tutup Mulut hingga Permintaan Takedown*


Tak lama setelah berita naik, Jarot, salah satu anggota tim saya, mendapat telepon dari penjaga gudang. Dengan nada memohon, ia meminta agar berita tersebut diturunkan. Alasannya, mereka tidak bisa bekerja jika informasi itu tetap beredar di publik.


Tak lama setelahnya, saya menerima sebuah share location untuk bertemu di sebuah rumah makan. Namun sesampainya di lokasi, situasi berubah drastis. Saya dan tim justru disodori uang sebesar Rp4 juta yang diletakkan di bawah meja. Uang itu disebut sebagai “kompensasi” agar berita diturunkan.


Belum sempat memahami maksud pertemuan itu, aparat Polres Blora tiba-tiba datang dan melakukan penangkapan. Saya kaget. Kami diundang untuk klarifikasi berita, juga mohon-mohon untuk hapus berita. Tapi perlakuannya seolah-olah kami kena OTT alias operasi tangkap tangan.


Kami bertiga langsung digelandang, ditahan, dan diproses sebagai tersangka. Situasi yang semula tampak sebagai klarifikasi berubah menjadi operasi penegakan hukum yang penuh kejanggalan.


*Dipenjara, Ditemani Fitnah*


Selama 90 hari masa penahanan, kami mengalami tekanan luar biasa. Dalam konferensi pers setelah bebas, saya punya kesempatan untuk menjelaskan sejumlah poin dalam dakwaan yang merupakan fitnah. Saya manusia. Saya jurnalis, bukan penjahat. Tapi saya diperlakukan seolah saya pemeras.


Saya juga melihat bagaimana aparat berusaha mengadu domba saya dengan pimpinan redaksi. Di hadapan saya, penyidik menjelek-jelekkan pimpinan redaksi. Namun di depan pimpinan redaksi, polisi yang sama justru menjelek-jelekkan saya dan teman saya, Iskandar.


Tujuannya jelas, mereka bermaksud memutus saling kepercayaan di antara kami. Tapi kami sudah saling kenal lama, kami tidak mudah dipecah belah.


*Pelepasan yang Aneh: Disebut Restorative Justice*


Setelah 90 hari, saya bersama Jarot dan Iskandar akhirnya dibebaskan. Namun saya terkejut ketika mendengar bahwa pembebasan tersebut dikaitkan dengan mekanisme Restorative Justice atau RJ.


Aneh bin ajaib, tidak pernah ada permintaan dari saya, tidak dari keluarga, tidak dari teman untuk RJ. Syarat RJ itu harus ada permohonan dari korban atau para pihak. Nyatanya kami tidak pernah mengajukan.


Saya merasa seolah-olah dicatatkan telah melakukan RJ, padahal kenyataannya tidak pernah ada proses itu. Bagi saya, hal ini menambah kebingungan dan memperkuat kesan bahwa kasus kami penuh rekayasa.


*Trauma yang Masih Menghantui*


Kini, meski telah bebas, trauma mendalam masih membayangi langkah saya. Saya hanya ingin menjalankan tugas jurnalistik: memastikan publik mendapat informasi yang benar. Namun pengalaman pahit itu meninggalkan luka yang sulit sembuh.


Kasus saya ini menjadi potret kelam bagaimana kerja jurnalistik yang seharusnya dilindungi justru berbalik menjadi jerat hukum. Saya berharap kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi publik, aparat, dan sesama jurnalis agar kebebasan pers benar-benar dijaga.


Yang saya lakukan hanyalah tugas. Saya ingin masyarakat tahu kebenaran. Tapi yang saya dapat justru penahanan dan trauma.


*Refleksi atas Kebebasan Pers*


Kisah ini bukan sekadar pengalaman pribadi. Peristiwa itu mencerminkan rapuhnya perlindungan terhadap jurnalis di lapangan. Begitu banyak kasus serupa terjadi terhadap jurnalis di berbagai tempat. Kami dikriminalisasi, dituduh memeras. Padahal yang terjadi, penjahat mencoba menyuap wartawan agar kejahatannya tidak terekspos dan diproses hukum oleh aparat. Ketika tugas mencari kebenaran berhadapan dengan kepentingan tertentu, jurnalis sering kali berada di posisi rentan untuk dikriminalisasi, dijadikan pesakitan.


Kasus ini menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi pekerja pers. Tanpa itu, jurnalis akan terus menghadapi ancaman kriminalisasi, fitnah, dan tekanan yang menghalangi publik memperoleh informasi yang seharusnya terbuka.


Hingga hari ini saya masih berjuang memulihkan diri dari trauma 90 hari di balik jeruji. Namun semangat saya untuk tetap menjalankan tugas jurnalistik tidak padam. Bagi saya kebenaran harus terus disuarakan, meski jalan yang ditempuh penuh risiko. Kisah ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers bukan sekadar slogan, melainkan hak fundamental yang harus dijaga bersama. (*)


_Penulis adalah wartawati di Semarang, peserta lomba menulis bertema “Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia”. Lomba ini masih dibuka hingga 15 Desember 2025. Informasi lengkap di sini: https://bit.ly/4opwDVZ_

0 Komentar